Jika kita semua mulai memandang setiap manusia, bahkan pengemis di jalanan yang tak beralas kaki, sebagai pengusaha potensial, maka kita bisa membangun sebuah sistem ekonomi yang akan memungkinkan setiap laki-laki dan perempuan menggali potensi ekonominya. Dinding lapuk yang memisahkan antara pengusaha dan buruh akan lenyap. Apakah seseorang ingin menjadi pengusaha atau pegawai gajian akan semata-mata menjadi pilihan perorangan.
Perubahan kedua terkait dengan bagaimana seorang pengusaha membuat keputusan investasi. Teori ekonomi menggambarkan pengusaha hanya sebagai orang yang memaksimalkan laba. Malah di beberapa negara seperti AS, UU korporasinya mewajibkan maksimalisasi laba. Pemegang saham bisa menuntut seorang eksekutif atau dewan direktur yang menggunakan dana perusahaan untuk kepentingan masyarakat secara umum ketimbang untuk maksimalisasi laba pemegang saham. Alhasil, dimensi sosial dalam pemikiran pengusaha diabaikan sepenuhnya. Bagi ilmu sosial dan masyarakat sendiri, ini bukanlah langkah awal yang baik. Kalaupun pertimbangan sosial berperan sangat kecil dalam keputusan investasi seorang pengusaha, kita toh tetap harus membiarkan pertimbangan sosial itu ikut bermain demi kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan. Pertimbangan sosial seorang manusia adalah sifat-sifat yang bisa ditanamkan dengan membangkitkan nilai-nilai sosial yang tepat. Jika kita tidak menyisakan ruang bagi mereka dalam kerangka teoretis kita, kita akan mendorong manusia berperilaku tanpa menghargai nilai-nilai sosial.
Posted in:



0 komentar:
Posting Komentar